Sunday, July 25, 2010

Bensin Premium Bersubsidi & Standar Emisi Euro 4



Akhir-akhir ini Pertamina sebagai perusahaan negara nampaknya sedang menjadi “Lakon” di belantara informasi negeri ini. Dimulai dari kekisruhan tentang Tabung Gas LPG ukuran 3 kg yang sering bocor katupnya dan menimbulkan ledakan…belum selesai masalah Gas LPG, Pertamina di goyang issu tentang banyaknya kasus “Fuel Pump” mobil yang rusak di Ibu kota Jakarta dimana disinyalir bahwa kadar sulfur/belerang yang terlalu tinggi di bahan bakar premium yang dipasarkan di SPBU .
Banyak komentar yang mensinyalir bahwa ada unsur “kesengajaan” dari pihak Pertamina untuk “meracuni” bensin Premium dengan harapan mobil-mobil segera beralih ke Bahan bakar non subsidi (Pertamax atau Pertamax plus).

Sebelumnya memang ada wacana untuk melakukan pembatasan penggunaan bahan bakar bersubsidi (premium) yang hanya diperbolehkan untuk di konsumsi mobil2 buatan tahun dibawah 2005. Wacana tersebut mengundang pro dan kontra. Ada yang setuju dengan alasan, masa’ udah mampu beli mobil dengan harga >200 jt kok nggak mampu beli bensin Pertamax…? Sementara yang kontra ada yang memberi alasan lebih rasional, bahwa mobil mereka walaupun baru tetapi memiliki spec mesin yang bisa mengkonsumsi bensin premium (rasio kompresi < 9,2 yg bisa menelan bensin 0ktan 88), dimana angka oktan Premium adalah 89, sedangkan batas mesin2 mobil masa kini kebanyakan memang menganjurkan untuk mengkonsumsi bensin dengan angka oktan >91 (pertamax ber-oktan 92).

Dari situ sebenarnya kita bisa tahu, bahwa Pertamina sudah memasarkan bensin dengan angka oktan yang sedikit lebih tinggi daripada yang seharusnya.
Wacana batasan tahun mobil <2005 yang diperbolehkan mengkonsumsi bensin Premium , tentunya berkaitan dengan standar teknologi mesin yang digunakan, dimana tahun itulah batas wajib bagi kendaraan2 bermotor di Indonesia untuk memenuhi standar emisi gas buang “Euro 2” dimana mesin kendaraan (mobil) tsb sudah harus menggunakan teknologi injeksi dan menggunakan catalytic converter di saluran gas buangnya untuk menyaring gas2 beracun hasil pembakaran mesin, sehingga diwajibkan menggunakan bahan bakar tanpa timbal. (Saat ini semua bensin Pertamina sudah tidak mengandung timbal, karena timbal akan menyumbat filter Catalytic converter)

Lalu kira2 apa kaitannya dengan merebaknya kasus rusaknya “fuel pump” mobil2 di Jakarta…? Yang kebetulan banyak di derita oleh operator taksi….? Masalahnya sederhana saja kok…operator2 taksi tsb menggunakan kendaraan sedan Toyota jenis Limo (Vios -spec down) yg notabene seharusnya menggunakan bensin Pertamax. Tapi dipaksakan menggunakan Premium…akhirnya ya begitulah kejadiannya….Lalu….siapa yang mau disalahkan…? Ahh…tahu sendiri lah…hehe…
Lalu bagaimana dengan kendaraan2 “lawas” yang belum memenuhi standar Euro 2…? Apakah cocok menggunakan bensin tanpa timbal..? Sudah pasti akan cepat rusak juga..karena timbal memiliki fungsi sebagai pelumas pada klep ruang bakar mesin bensin lawas. Ujung2 nya mobil2 lawas memang tetap akan kena imbas nya walaupun menggunakan Premium bersubsidi. Mesin akan cepat rusak, dan akan menyebabkan meningkatnya pengeluaran bagi pemeliharaan dan perbaikan mesin mobil2 lawas.Sedangkan teknologi mesin terbaru sudah menerapkan pelumasan yang baik bagi klep masuk dan buang pada mesin2 generasi Euro 2 ke atas.

Pada akhirnya diharapkan konsumen akan menyadari bahwa memelihara mobil lawas, walaupun menggunakan bensin murah, tetap jadi mahal…karena meningkatnya resiko kerusakan mesin. Yang paling aman memang menggunakan mobil dengan tahun >2005 atau yang minimal sudah memenuhi standar emisi Euro 2 dan menggunakan bensin Pertamax sesuai spesifikasi pabrik mobilnya. Mesin awet dan lebih ramah lingkungan.

O ya…perlu diketahui juga teman-teman...., bahwa di negara2 Eropa, Amerika, juga di negara tetangga kita Singapura dan Thailand sudah menerapkan standar emisi Euro 4, bahkan ada yang Euro 5, Makanya beberapa merek dan jenis mobil yang sangat favorit di Negara kita (mobil sejuta umat) tak bisa masuk di Negara2 tersebut, karena tidak memenuhi standar emisi Euro 4. Jadi walaupun mobil2 tsb sangat laku di Negara kita, tetap tak bisa menjadi mobil global….alias jadi mobil sejuta umat yang sekedar “ Think Global-Act Local”…hehe…..

Yaah...pada akhirnya kita memang kudu realistik, tidak bisa hanya dengan cara emosional "menentang" wacana/peraturan2 yang sebenarnya bertujuan demi kebaikan, karena kalau tidak...kita tetap akan menjadi negara yang terbelakang.Makin tertinggal jauh dengan negara2 tetangga kita yang sudah sedemikian maju nya kesadaran masyarakat untuk menerapkan aksi "Bumi yang Hijau".

No comments:

Post a Comment