Bukan karena mau latah kalau posting kali ini menyangkut batik, karena memang kenyataannya saat ini memang kita sedang merayakan ditetapkannya oleh UNESCO batik sebagai warisan budaya dunia non benda yang berasal dari Indonesia. Bangga…? Jelas iya lah…pengakuan tingkat dunia seperti ini jelas meruntuhkan segala kekuatiran akan di klaimnya batik sebagai milik Negara lain.
Walaupun tidak dilakukan suatu proses Paten-isasi batik dimana diharapkan adanya royalty, itu sudah tidak perlu lagi, karena pengakuan ini jelas mengatakan batik adalah milik kita. Kita sebagai bangsa Indonesia sudah sepantasnya berbangga dengan pengakuan yang luar biasa itu.
Pengakuan batik sebagai warisan dunia juga memiliki konsekwensi bahwa kitapun tidak boleh sembarangan memperlakukan batik dengan semena-mena, menelantarkannya atau bahkan melecehkannya, dunia akan marah dan pengakuan itupun bisa dicabut. Momentum ini merupakan suatu titik tolak untuk melakukan suatu ‘refresh’ bagi bangsa kita untuk lebih menghargai budaya-budaya asli kita, dimana sering terkesan kita meremehkan keberadaannya. Mungkin karena kita terlalu kaya dengan unsur-unsur budaya daerah dan sudah merupakan dari bagian dari kehidupan kita sehari-hari, maka kita sering lalai dengan menjaganya dari para “perampok budaya” dari negara-negara kaya secara ekonomi tetapi sebenarnya miskin budaya asli.
Kalau kita urutkan dari daerah Aceh sampai Irian, betapa beragamnya budaya kita, mulai dari kesenian tari-tarian, kain dan pakaian, makanan, upacara adat, dll…..negara Amerika Serikat memiliki budaya asli Indian yang lambat laun semakin punah, Australia pun hanya memiliki budaya asli Aborigin…tidak heran karena penduduk mereka merupakan imigran dari mayoritas negara2 Eropa.
Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai suatu Negara, mulai dari jaman kerajaan2 kuno, unsur budaya Hindu mulai masuk, kemudian Budha, juga masuknya budaya Islam dimulai dari pedagang2 Gujarat, imigran2 China,kemudian budaya Eropa/Kristen melalui penjajahan Belanda/Portugis. Budaya-budaya yang mereka bawa telah berasimilasi di Indonesia disesuaikan dengan kondisi adat dan geografis sehinga menghasilkan suatu budaya baru yang sudah berbeda dengan budaya asalnya, karena sudah merupakan suatu racikan atau adonan yang melahirkan suatu budaya baru yaitu budaya khas Indonesia.
Kita akui bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku, ras dan agama, tetapi kita semua memiliki kesamaan yaitu rasa cinta dan bangga sebagai bangsa Indonesia, sudah bukan zamannya lagi untuk membedakan ras pribumi dan non pribumi seperti pernah terjadi pada masa-masa kelam yang lalu. Kita adalah satu, kalau sudah menyangkut suatu kebanggaan sebagai suatu bangsa, saya yakin segenap komponen bangsa akan bersatu. Sebagai contoh saat Rudy hartono atau Liem Swie King atau Susi Susanti sedang bertanding bulu tangkis di tingkat dunia, segala doa dari para pemeluk agama baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, KongHuCu di panjatkan ke padaNya, agar atlet-atlet kita memperoleh kemenangan.
Begitu juga saat MU gagal datang ke Indonesia karena adanya kasus pengeboman, betapa marah dan sedihnya para penggemar MU di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam manakala mengetahui gagalnya rencana pertandingan persahabatan di Indonesia. Ini merupakan kenyataan betapa uniknya orang Indonesia. Kenyataan ini menunjukan bahwa “fanatisme primordial” yang mengedepankan faktor agama, ras dan suku makin lama makin “out of date”.
Rasa kebersamaan, kerukunan dan saling pengertian sebagai sesama bangsa Indonesia dengan tetap mengutamakan keyakinan terhadap ajaran tentang kebaikan dari Agama yang dianut masing-masing penduduk, bagiku sebenarnya merupakan ………KEAJAIBAN DUNIA NOMOR SATU.
Begitulah.......
No comments:
Post a Comment