Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita tidak lepas dari peran seorang “pembantu rumah tangga / PRT” atau dalam beberapa istilah di sebut sebagai “bedinde” atau “pramuwisma”. Kebanyakan memang mereka perempuan, ada yang masih berusia muda dibawah 20 tahun , ada juga yang sudah di atas 40 tahun.
Kali ini aku mau menceritakan tentang pembantuku yang sudah ikut keluarga kami sejak kelahiran anak pertamaku 15 tahun yl. Nama aslinya “jumini”, tapi kami biasa memanggilnya dengan sebutan “Biyung”…yang artinya “ibu” dalam bahasa jawa-ndeso. Dia seorang Janda yang di tinggal mati suaminya sejak 20 tahun yl, mempunyai anak laki-laki satu tetapi sudah pergi merantau (katanya) dan sampai saat ini tidak ada kabar beritanya. Saat anak pertamaku lahir dan cuti istriku habis, kami kemudian mencari pembantu untuk merawat bayi, karena saat itu tugas Puskesmas mengharuskan kami bertempat tinggal di rumah dinas Puskesmas yang kebetulan berlokasi di desa pelosok yang terletak di kaki G.Telomoyo. Berkat pertolongan dari Bu Lurah setempat kami di tawari seorang calon pembantu perempuan, sudah punya anak tapi sudah besar, suami meninggal, berusia sekitar 45 tahun, tidak ada tanggungan keluarga, biasa di panggil dengan “Biyung” Wah….cocok nih…! Kami sangat senang dan meminta supaya mbok Jumini datang dulu kerumah.
Dua hari kemudian Biyung datang….kami sangat terkejut melihat kondisinya…begitu kurus, dekil, kulit legam terbakar matahari,ber-kebaya butut dengan mulut tak henti2 nya nyusur/nginang daun sirih.
Saat kami ajak ngobrol, dia tidak mengerti bahasa Indonesia, sementara aku sendiri belum fasih berbahasa Jawa saat itu, Parahnya lagi dia tidak mengenal atau tidak mengerti tentang Listrik, maupun kompor Gas. Ternyata selama ini Biyung tinggal di gubuk beralas tanah dan berdinding anyaman bambu di desa “Gedok” yang merupakan desa yang paling terpencil, akses kerumahnya hanya bisa dengan sepeda motor, itupun denga resiko tergelincir jatuh ke Jurang dengan kedalaman puluhan meter, Tukang ojek saja menolak bila ada job ke desa itu, pilihan lain ya dg lawalata (jalan kaki). Tidak heran dia hanya mengenal lampu teplok, senthir dan obor beserta minyak “liun”….tahu nggak, setelah seminggu aku baru tahu kalau minyak liun itu adalah minyak tanah…xixixi….
Memasak dan sebangsanya menggunakan tungku di pawon, dengan bahan bakar biji/bunga pinus…Biyung memang selama ini mencari nafkah dengan mengumpulkan bunga cemara-pinus untuk dikeringkan dan di jual di pasar desa terdekat untuk ditukar dengan jagung dan ikan asin. Jagung tersebut akan di giling untuk dibuat nasi jagung. Ikan asin biasa dia beli jenis “peda”. Cara menggoreng peda juga beda, dia bungkus dahulu dengan daun Jipan/labu siam baru di goreng atau di masukkan ke dalam abu yang panas…setelah masak, daun labu tersebut di kelotok dari ikan asinnya dan dia makan sebagai lauk, sementara ikan asinnya di simpan di toples dulu, untuk dimakan menyusul kemudian, supaya hemat katanya….Mengenaskan…tetapi justru aku sampai sekarang jadi ikut menyukainya,menggoreng ikan asin peda dengan dibungkus daun labu siam dulu..hehehe…
Butuh waktu 1 bulan supaya Biyung mengerti tentang peralatan listrik beserta bahayanya, dia begitu terheran-heran dengan rice cooker yang bisa memasak nasi dengan cepat dan mudah walaupun dia tetap menganggap memasak nasi cara kuno rasa nasinya lebih sedap..hahaha…Begitu juga dengan mesin cuci, dia heran kok bisa sekaligus memeras cucian sehingga tinggal diangin-angin sudah kering…. Tetapi tetap dia kritik juga kalau nyuci dengan tangan lebih bersih….ya udah…..kami tertawa aja….begitu juga dengan kompor gas….dia begitu kagum melihat cepatnya memasak, dia bilang “kompor kok iso murup dewe…?” dia paling kagum meihat betapa cepatnya aku mendidihkan segelas air untuk membuat kopi…tapi itupun tidak luput dari kritik dia bahwa masakan dengan kompor gas kalah sedap dibanding memasak dengan tungku dan kayu bakar, katanya “ langkung eco masakan ngangge pawon”……aseemm tenaaan……mau kubantah juga percuma, wong selama ini aku juga ngak pernah punya pawon…hehehe
Begitu juga dengan “Blender”, yang menurutnya cepat buat menggiling bumbu tapi nggak bisa buat ngulek sambel terasi dan sambel kosek (cabe rawit,bawang putih dan garam doang diulek)….ya udaah…kami akui dia benar….Cuma satu alat yang dia kagumi dan tidak di kritik…yaitu setrika….karena kalau aku melihat baju yang dia kenakan selama ini banyak bolong2nya karena kena percikan api setrika arang atau mungkin kepanasan apinya..hahaha…..akhirnya dia mengakui juga kalau ada satu alat modern yang hebat menurutnya….yaitu setrika.
Biyung memiliki watak yang keras, jujur dan lugu, dia tidak segan-segan protes apabila ada sesuatu yang menurutnya tidak benar, bahkan beberapa kali dia marah sama aku manakala aku lagi memarahi anak2 karena nakal, dia benar2 sangat membela anak2...aku yang sering terkejut kalau dia mengingatkan sbb; " sing namine lare menawi nakal nggih lumrah, njenengan niku sing sepuh kedah mangertos ! (yang namanya anak, kalau nakal itu ya lumrah, anda yang sebagai orang tua harus bisa mengerti!)
Yaah....ak banyak belajar dari Biyung, walaupun dia orang tidak bersekolah, tetapi norma2 pendidikan budi pekerti dan sosial dia menjiwai benar. Pernah anakku berantem dengan anak tetangga, saat orang tua anak tersebut datang ke rumah malah si Biyung yang menghadapi sambil mmbawa arit/sabit....hehehe....lagaknya mau membersihkan rumput halaman rumah, tetapi si orang tsb tersebut ngeper, takut juga dan ngeloyor pulang tanpa pamit...hahaha.....
Saat ini Biyung sudah tidak bekeja lagi padaku, karena merasa sudah tua dan tidak kuat lagi juga enggak mau ikut kami pindah ke Solo, dia mau menghabiskan sisa hidupnya di rumah dan didesanya. Sekarang rumahnya sudah bagus, terpasang listrik PLN, memakai kompor gas, rice cooker-magic jar, blender dll…pokoknya sekarang dia memakai peralatan yang serba listrik deh, uang tabungannya selama 15 tahun bekerja masih cukup untuk membeli kambing dan ayam untuk dia pelihara sebagai hiburan dan mata pencahariannya.
Kami sekeluarga Lebaran kemarin main kerumahnya, walaupun harus berjalan kaki, naik-turun bukit selama 3 jam. Betapa senangnya Biyung menyambut kedatangan kami….dan hebatnya, dia sengaja memasak masakan khas lebaran di kampungnya seperti “ketupat, dendeng kelem, opor ayam dan sayur nangka muda” dengan menggunakan api tungku pawon…..dan….kali ini setelah 15 tahun, akhirnya aku mengakui….bahwa masakan Biyung dengan menggunakan api tungku pawon memang benar terasa lebih lebih sedap…xixixi…..
……Yung….kudoa’kan semoga sampeyan sehat-sehat saja yoo….kami serumah selalu kangen Biyung…..*hikz…
No comments:
Post a Comment